Ini Ia Merpati Pedaging Kelas Resto

Peternak merpati pedaging kini boleh berbangga lantaran kini sajian merpati sudah sukses memas Ini Dia Merpati Pedaging Kelas Resto
Merpati Homer King
Peternak merpati pedaging kini boleh berbangga lantaran kini sajian merpati sudah sukses memasuki restoran-restoran besar, termasuk restoran Chinese Food. Tapi merpati apa dulu?
Memang bukan sembarang merpati lantaran burung dara goreng yang disajikan di restoran Chinese Food papan atas ini yakni anak Homer King Pigeon, merpati potong yang khusus dipelihara untuk memproduksi daging.

Anak merpati yang disajikan sebagai "burung dara goreng" rata-rata hanya sekitar 0,25 kg per ekor. Sementara Homer King Pigeon rata-rata 0,5 kg. per ekor. Daging Homer King juga lebih tebal dan lebih lunak. Daging merpati balap kadang-kadang agak alot dan tipis. Namun lantaran pasokan Homer King sangat terbatas, maka merpati balap tetap mendapatkan tempat sebagai burung dara goreng di warung lesehan dan Chinese Food papan bawah. Faktor strata kemampuan ekonomi ini pulalah yang menjadi penyebab terciptanya strata sajian burung dara goreng. Sebab harga anak merpati balap, paling tinggi hanya Rp 5.000,- per ekor hidup. Sementara anak Homer King bisa dihargai Rp 17.500,- per ekor. Tingginya harga merpati potong Homer King, disebabkan oleh masih sedikitnya peternak yang mengetahui celah bisnis ini.

Beda dengan anak merpati balap yang bisnisnya hanya merupakan "sambilan" dari hobi memelihara merpati, maka berternak Homer King harus diurus dengan serius. Kalau merpati balap boleh bebas beterbangan, Homer King harus tetap berada dalam kandang, makan, tidur, kawin, bertelur dan mengerami telur hingga menetas. Anak merpati itu harus disuapi hingga umur 10 sd. 14 hari dan siap diambil untuk dikirim ke Chinese Food Restaurant sebagai materi sajian "burung dara goreng". Pada umur itulah, bobot anak homer king rata-rata 0,5 kg. hidup.

Sebenarnya "teknologi" budidaya Homer King sudah benar-benar final dengan rumus yang sangat baku. Namun perjuangan ini sangat padat modal dan bukannya padat karya. Pasar hotel bintang dan Chinese Food di DKI Jakarta, niscaya masih ringan kalau hanya menyerap 100 ekor anak Homer King per hari. Tetapi untuk bisa memasok 100 ekor anak burung dara per hari, diharapkan modal investasi Rp 600.000.000,- dan modal kerja Rp 300.000,- per hari. Investasi Rp 600.000.000,- itu, yang Rp 250.000.000,- untuk 1000 ekor pasang induk @ Rp 250.000,- sangkar Rp 300.000.000,- dan pakan, obat-obatan serta tenaga kerja (sampai dengan menghasilkan) Rp 50.000.000,-

Modal investasi itu bisa disusutkan selama 5 tahun atau @ hari Rp 330.000,-   Biaya pakan, obat-obatan dan tenaga kerja sebagai modal kerja, menjapai Rp 320.000,- per hari. Hingga harga pokok 100 ekor anak Homer King yakni Rp 650.000,- : 100 = Rp 6.500,- per ekor. Kalau di tingkat hotel dan restoran harga anak merpati Rp 17.500,- per ekor, maka di tingkat peternak Rp 15.000,- per ekor. Dengan harga pokok Rp 6.500,- per ekor, maka marjin kotor perjuangan agroindustri daging Homer King Pigeon yakni Rp 8.500,- per ekor. Dengan hasil 100 ekor per hari, maka total marjin kotor yang didapat menjadi Rp 850.000,- per hari.

Dibanding dengan ayam pedaging, sesungguhnya budidaya merpati Homer King lebih menguntungkan. Karena dari 0,8 kg. pakan yang masuk ke sangkar tiap hari, sanggup dihasilkan 0,5 kg anak merpati, apabila produksi sudah optimum. Namun untuk memperoleh 1000 pasang bibit Homer King sekaligus, kini ini tidak mudah. Hingga alternatifnya yakni dengan pemeliharaan secara bertahap. Mula-mula hanya dibeli 50 pasang induk dengan investasi Rp 12.500.000,- sangkar Rp 15.000.000,- pakan, obat-obatan dan tenaga kerja Rp 2.500.000,- (sampai menghasilkan) atau total Rp 20.000.000,- Dari modal tersebut, akan sanggup dihasilkan anak burung 40 ekor (20 pasang) per hari.

Untuk menjadi calon induk, anak merpati itu harus dibesarkan hingga umur 4 bulan, dengan biaya pembesaran Rp 50.000,- per ekor. Hingga harga pokok bibit merpati "hasil produksi sendiri" hanya Rp 100.000,- per pasang. Berarti ada penghematan biaya bibit Rp 150.000,- per pasang atau untuk 1000 ekor bibit, penghematannya Rp 150.000.000,- Namun untuk bisa memperoleh 1000 pasang bibit calon induk, diharapkan jangka waktu 50 hari. ditambah 4 bulan atau 5 bulan 20 hari atau 0,5 tahun. Untukbisa berproduksi optimal, masih diharapkan jangka waktu sekitar 5 bulan lagi. Namun dari penghematan biayainvestasi bibit tersebut, benab penyusutan per hari akan menurun, hingga marjin kotor yang diperoleh bukan hanya Rp 850.000,- per hari, melainkan naik menjadi Rp 920.000,- Agar kontinuitas produksi tidak terhambat, maka pada simpulan tahun IV, kita sudah harus investasi induk baru. Hingga ketika simpulan tahun V induk usang diafkir, maka induk gres sudah mulai berproduksi optimal.

Lokasi peternakan merpati potong, idealnya berketinggian minimal 700 m. dpl. Misalnya daerah Cisarua di Kab, Bogor. Sebab sama halnya dengan ayam broiller, merpati potong berasal dari negeri sub tropis, yang rentan terhadap udara panas. Saat ini, peternakan Homer King yang berkembang hanyalah di Kab Bandung, sesudah sebelumnya berkembang di Kab. Sukabumi. Tersendatnya pengembangan budidaya merpati potong, sesungguhnya bukan lantaran faktor pasar, melainkan modal. Sebab, meskipun pasar merpati potong bersifat tertutup (khusus), namun peluangnya masih cukup longgar. Hingga undangan dari Singapura dan Hongkong pun, hingga ketika ini tidak pernah bisa kita penuhi. Sebab pasar DKI dan kota-kota besar lain di Indonesia pun, ketika ini juga masih mengandalkan anak merpati balap sebagai sajian burung dara goreng mereka, lantaran pasokan Homer King yang tak kunjung datang.

Kendala yang juga akan dihadapi oleh para calon investor budidaya Homer King adalah, sedikitnya tenaga terampil pengelola peternakan. Selama 30 tahun terakhir ini, perkembangan budidaya merpati potong hanyalah berupa estafet investor. Investornya ganti-ganti terus, sementara tenaga terampilnya hanya itu-itu saja. Sebab para peternak yang sudah sukses, rata-rata bersikap tertutup soal teknis budidaya. Padahal sesungguhnya secara teknis, budidayamerpati potong tidak ada yang perlu dirahasiakan. Akibatnya, calon investor mustahil "memagangkan" tenaga mereka untuk berguru pada peternak yang telah sukses. Karena tertutuk peluang untuk memagangkan tenaganya, maka investor gres itu memberi  "iming-iming" honor dan kemudahan lebih tinggi pada tenaga terampil di peternakan usang tersebut.

Kalau upaya itu berhasil, maka akan pindahlah tenaga terempil tersebut ke peternak baru. Begitu ditinggal oleh tenaga yang diandalkan, peternak usang tersebut pelan-pelan surut hingga alhasil tutup. Demikian seterusnya, hingga secara nasional, agroindustri merpati potong di Indonesia hanya berjalan di tempat. Sementara peluang pasar terus berkembang, sejalan dengan meningkatnya populasi masyarakat kelas menengah dan atas di Indonesia. Komoditas merpati potong memang "terlewatkan" dari perhatian pemerintah. Beda dengan ternak itik, ayam pedaging, sapi perah dan sapi pedaging. Peternakan lebah madu, masih bernasib lebih baik lantaran diurus oleh Pusat Apiari Pramuka dan Perum Perhutani.

Teknologi perkandangan dengan sistem baterai, ketersediaan pakan bernutrisi tinggi, sesungguhnya merupakan kemudahan yang akan memperlihatkan jamminan hasil budidaya secara optimal. Tingkat laba yang relatif tinggi dalam jangka pendek dengan resiko kecil, sesungguhnya cukup menantang untuk melaksanakan investasi merpati potong. Sementara lahan yang diharapkan juga tidak terlalu luas untuk ukuran investasi dengan nilai hingga ratusan juta rupiah. Sifat pasar yang tertutup sesungguhnya justru lebih memudahkan penggarapan kalau dibanding dengan pasar terbuka. Sifatpasar demikian juga akan memperlihatkan jaminan bahwa produk yang dihasilkan tidak akan dicuri atau dijarah. Sebab mamasarkan merpatipotong tentu tidak semudah menjual ayam kampung maupun broiller.

Kalau warung-warung lesehan di Malioboro menyajikan burung dara goreng yangberasal dari merpati balap, konsumen masih sangat memakluminya. Namun kalau restoran Chinese Food juga "terpaksa" ikut menyajikan merpati kampung, maka sesungguhnya kita telah menyia-nyiakan peluang investasi yang cukup menarik. Lebih-lebih kalau kita juga berhasrat untuk membidik pasar ekspor. Dengan harga FOB dan melepas barang di Bandara, sebenarnyapara peternak Homer King tidakperlu terlalu mencemaskan segala kerepotan mekanisme ekspor. Sebab para pembeli luar negeri itulah yang akan mengurus karantina dan lain-lain. Sementara peternak cukup membawa barangnya ke bandara dan mendapatkan uang cash. (agrosentris/berbagai sumber)

0 Response to "Ini Ia Merpati Pedaging Kelas Resto"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel